Rabu, 24 November 2010

Pemenangan PEMILUKADA Indonesia

   Hasil survei  yang dilakukan oleh Avant Garde Centre, Pustekpro dan The Election Aid terhadap populasi melalui metode Constituents Insight atau juga dikenal sebagai Constituents Immersion      ( survei tidak dilakukan melalui penelitian konvensional dengan metode survei atau kuesioner)  tapi  melalui motode pengamatan dan pemahaman perlikaku constituen (pemilih) dalam periode tertentu di beberapa lokasi  berbeda untuk mengenal perilaku constituent (pemilih) apa adanya tanpa rekayasa.

    Surveyor direkrut dari tanaga motivator dan  tenaga penyuluh lapangan (TPL) yang berpengalaman selama 30 tahun dipedesaan setelah mengikuti serangkaian pelatihan dan pembekalan ditugasi melihat, memperhatikan dan merekam kebiasaan perilaku pemilih mulai dari penyelenggaraan pemilihan kepala desa (Pilkades), pemilihan umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pemilukada  Provinsi dan atau Kabupaten/Kota), pemilihan umum legislatif (DPR, DPR Daerah dan DPD) sampai pada pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres)  tahun 2004 s,d 2010.

   Terdapat kelompok pemilih yang enggan dengan perubahan atau bahkan tidak mau untuk berubah, dari hasil survei terdapat 34% dari populasi pemilih aktif adalah mereka yang sama sekali tidak mau ambil resiko salah, dengan sejumlah alasan tertentu, mereka hanya menjadi pengikut yang baik dan memilih yang sudah ada. Meski banyak kritik yang dilontarkan kepada kebijakan pemerintah (pemegang otoritas yang berjalan)  masyarakat yang masuk dalam kelompok ini tutup mata dan mendukung calon yang sudah dikenal (incumbent). Artinya Mereka merupakan komunitas yang sama sama memuja suatu calon saja.

    Sebagai contoh dapat dikemukakan sekalipun terjadi penurunan popularitas yang berfluktuatif terhadap Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), hasil polling  berbagai lembaga survei sejak tahun 2005 s,d 2008, dukungan terhadap SBY tidak pernah turun dibawah angka 30%.

   Sekalipun calon incumbent kalah diberbagai Pemilukada Propinsi, Kabupaten/Kota perolehan suara mereka rata rata masih diatas 30 % dari suara sah, Hal ini dapat kita lihat pada pemilukada di Propinsi Sulsel kandidat incumbent memperoleh 38,76%; di Sulteng memperoleh 39,34%; di Kalimantan Barat memperoleh 30,94%. Di Jawa Timur, misalnya di Kabupaten Sampang memperoleh  35,29%; Kabupaten Bojonegoro 38,38%. Dari hasil penyelenggaraant Pemilukada di 18 Kabupaten/Kota di Jawa Timur pada tahun 2005 dan tahun 2010,  80% dimenangkan oleh pasangan calon incumbent. 

    Hal ini menunjukkan bahwa dukungan komunitas tersebut masih tetap ada dan berkelanjutan. artinya bahwa kelompok masyarakat  tersebut menjadikan indikator bahwa loyalis masih aktif mengkonstruksi sesuatu. Asumsi tentang adanya komunitas yaitu mereka yang sama sekali tidak mau ambil resiko salah dan memilih yang sudah ada dengan sejumlah alasan tertentu memang terbukti.

    Kemengan demi kemenangan yang diraih oleh pasangan calon incumbent adalah wajar karena pasangan calon ini telah melakukan sosialisasi dan investasi politik cukup lama yaitu selama masa kepemimpinannya sebagai Kepala Daerah. Karenanya  menantang pasangan calon incumbent bukan perkara mudah, butuh modal kuat, kreatif yang tinggi, strategi yang tepat, sumbar daya manusia yang handal dan banyak lagi hal hal yang sifatnya mendasar dan strategis. Strategi kampanye kreatif seperti apa yang harus diciptakan untuk memukul KO pasangan calon incumbent yang telah banyak memenangkan Pemilukada di Indonesia ? Berdasarkan hasil survei Avant Garde Centre di Jawa Timur sejak tahun 2004 s,d 2010 hampir 80% penyelenggaraan Pemilukada dimenangkan oleh pasangan calon dari incumbent.

   Hasil penelitian Avant Garde Centre, Pustekpro, dan The Election Aid telah diaplikasikan dalam Konsep :MEMBANGUN ESKALASI POLITIK, MEMOBILISASI DAN MEBANGUN JARINGAN ORGANISASI YANG TERSTRUKTUR, SISTIMATIK DAN MASIF dalam rangka Pemenangan Pemilukada Kabupaten/Kota se Indonesia.

   Konsep dasar pemenangan pemilukada ini adalah membangun eskalasi politik, memobilisasi dan membangun jaringan organisasi terstruktur, sistimatik dan masif bertujuan mengarahkan massa pemilih tetap dan aktif untuk hadir di Tempat Pemungutan Suara (TPS) pada hari dan tanggal pemungutan suara berlangsung.  Harus dipahami oleh setiap pasangan calon yang berlaga di Pemilukada,  sekalipun partai politik pengusung adalah pemenang dalam pemilu legislatif, tidak berarti seluruh pemilih secara mutlak akan mendukung kembali kandidat yang diusung oleh partai politik yang bersangkutan. Pemilih tradisonal yang setia terhadap pasangan calon pilihan partai politik pada Pemilukada hanya 16% saja.

   Oleh karenanya pasangan calon seyogyanya  tidak sepenuhnya menyerahkan program pemenangan Pemilukada kepada tim kampanye yang dibentuk oleh partai politik, karena apabila mesin politik partai pengusung tidak dapat berjalan efektif (sering terjadi konflik interest antara elit elit partai politik) maka pasangan calon akan dihadapkan pada masalah penurunan suara yang siknifikan.

Kasus semacam ini sudah banyak terjadi,  dimana  partai politik pengusung yang juga pemenang (memperoleh suara terbanyak) pada pemilu legislatif tahun 2004 dan 2008, gagal memenangkan pasangan calonnya pada Pemilukada Kabupaten/Kota di Jawa Timur pada tahun 2005 dan 2010.

   Tiga (3) variabel utama yang dapat menentukan besar kecilnya perolehan jumlah suara pada Pemilukada, sebagai berikut :
  1. Sangat tergantung pada kerja politik dan sumber daya  tim kampanye yang dibentuk oleh pasangan calon (perangkat tim kampanye merupakan penentu dalam memobilisasi dukungan terutama jumlah suara yang akan diperoleh).
  2. Program kerja apakah sebanding atau tampil beda (seberapa jauh program pasangan calon tampil beda dengan pasangan calon lainnya)
  3. Sosok tokoh pasangan calon apakah mempunyai daya tarik cukup kuat dalam masyarakat  (tingkat elektabilitas dan popularitas). Ketertarikan pada ketokohan pasangan calon merupakan salah satu faktor penting orang memilih. Batas minimal  elektabilitas dan popularitas pasangan calon bila ingin menang dalam Pemilukada harus mencapai diatas 40 % s.d 90 %. Akan tetapi dengan menguatnya pragmatisme dan individualisasi dalam kehidupan bermasyarakat maka ketertarikan pemilih pada pasangan calon dapat "dibentuk".

 MEMBANGUN ESKALASI POLITIK, MEMOBILISASI DAN MEMBANGUN JARINGAN ORGANISASI  TERSTRUKTUR, SISTIMATIK DAN MASIF, memberikan keunggulan sebagai berikut :

  1. Menggerakkan dan memadukan mesin politik tim kampanye pasangan calon 
  2. Pemilih teridentifikasi berdasarkan data pemilih beserta data kontak seperti alamat, telepon dll  serta lokasi Tempat Pemungutan Suara berdasarkan Daftar Pemilih Tetap di masing masing Daerah Pemilihan (Dapil), Kecamatan, Desa/Kelurahan dan RT/RW.
  3. Komunikasi terbangun melalui jejaring teknologi informasi  (TI) untuk mendukung aktivitas  seluruh anggota tim kampanye dan juga antara tim kampanye dengan pemilih tetap yang ditarget dalam Daftar Pemilih Tetap disetiap Tempat Pemungutan Suara.
  4. Menggalang dan mengarahkan massa mengambang serta memotivasi dan memeransertakan/mengaktifkan kalangan masyarakat dalam pemilu lalu memilih golput alias tidak mecoblos.
  5. Dapat dijadikan acuan seluruh perangkat pemilih : juru kampanye - tim kampanye - posko pemenangan pemilukada merupakan penentu dalam memobilisasi dukungan terutama jumlah suara yang didapat.  
GOLPUT

Dari hasil riset kajian perilaku politik pemilih golongan putih  (golput),  terdapat 3 macam karekteristik golput disetiap pemilihan umum di Indonesia, sebagai berikut :
  1. GOLONGAN APATIS SKEPTIS,   80% .Adalah kelompok masayarakat  yang berpendapat bahwa momentum pemilu tidak memberikan nilai tambah yang siknifikan kepada dirinya (individu masyarakat), Golput dalam  karakter 1 terdiri  kelompok masyarakat umum (petani, nelayan, buruh dll)  dan kelompok intelektual. Akan tetapi pada kelompok golput pada masyarakat umum masih dapat dimobilisasi ke TPS.
  2. GOLONGAN APRIORI, 15 %. Adalah anggota kelompok masyarakat mengambil sikap golput dikarenakan  calon yang diunggulkannya tidak terpilih. Golput dalam karakter 2 terdiri dari politisi, intelektual dan sebagain kecil masyarakat umum.
  3. GOLONGAN A SOSIAL ATAU A POLITIS, 5 %. suatu bentuk penolakan dogmatis atas eksistensi sistim serta produk sistim politik yang sedang berjalan. Golput dalam karakter 3 terdiri dari  inteletual dan politisi.